Minggu, 22 Agustus 2010

INCEST DALAM KITAB SUCI

oleh :
Presbyter Rm.Kirill JSL
(Omeц Кирилл Д. С. Л.)
Paroikia St. Jonah dari Manchuria, Surabaya
GEREJA ORTHODOX INDONESIA
(THE INDONESIAN ORTHODOX CHURCH)

I. Definisi dan Selayang-Pandang Incest

Incest yang disebut juga hubungan sedarah, hubungan sumbang atau perkawinan sedarah adalah hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosio antropologis daripada biologis (bandingkan dengan kerabat-dalam untuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis. Sedang definisi dari Kamus New Collins (New Collins Dictionary) menyebut Incest adalah "Hubungan seksual antara 2 orang yang mempunyai hubungan yang sangat dekat." Kamus Oxford menambahkan kalimat - "Untuk menikah."

Hubungan sumbang diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah' dari kedua tetua pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipe-nya berada dalam kondisi homozigot.

Secara sosial, hubungan sumbang dapat disebabkan, antara lain, oleh ruangan dalam rumah yang tidak memungkinkan orangtua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antara orang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisi psikososial yang kurang sehat pada individu yang terlibat. Beberapa budaya juga mentoleransi hubungan sumbang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti politik atau kemurnian ras.

Akibat hal-hal tadi, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agama Islam (fiqih), misalnya, dikenal konsep muhrim yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu.

Pada kelompok masyarakat tertentu, seperti suku Polahi di Kabupaten Gorontalo, Sulawesi, praktik hubungan sumbang banyak terjadi. Perkawinan sesama saudara adalah hal yang wajar dan biasa di kalangan suku Polahi.

Kalangan bangsawan Mesir Kuno, khususnya pascainvasi Alexander Agung, melakukan perkawinan dengan saudara kandung dengan maksud untuk mendapatkan keturunan berdarah murni dan melanggengkan kekuasaan. Contoh yang terdokumentasi adalah perkawinan Ptolemeus II dengan saudara perempuannya, Elsinoé. Beberapa ahli berpendapat, tindakan seperti ini juga biasa dilakukan kalangan orang biasa. Toleransi semacam ini didasarkan pada mitologi Mesir Kuno tentang perkawinan Dewa Osiris dengan saudaranya, Dewi Isis.

Dalam mitologi Yunani kuno, Dewa Zeus kawin dengan Hera, yang merupakan kakak kandungnya sendiri.
Folklor Indonesia juga mengenal hubungan sumbang. Hubungan sumbang antara Sangkuriang dan ibunya sendiri (Dayang Sumbi) dalam dongeng masyarakat Sunda atau antara Prabu Watugunung dan ibunya (Sinta), yang menghasilkan 28 anak — kisahnya diabadikan dalam pawukon — adalah contoh-contohnya.

II. Kasus Incest Zaman Adam sampai Zaman Nuh: Melanjutkan Keturunan

Dalam Kitab Suci, terutama Kitab Perjanjian Lama banyak dikisahkan tentang incest atau perkawinan sedarah. Banyak orang mempertanyakan, bagaimana mungkin sebuah Kitab dari Allah menulis dan mendukung perkawinan sedarah (incest) ini? Apakah Allah memang mendukung incest pada masa-masa itu? Apakah ini adalah bukti bahwa Kitab Suci (Alkitab) adalah kitab yang mendukung perzinahan (incest)?

Menurut Kitab Kejadian, pada suatu saat Kain membunuh adiknya, Habel (Kejadian 4:8). Sebagai hukuman atas kejahatannya ini, Tuhan mengusir Kain dari tempat kediamannya dan dari kehadiranNya. Dikatakan bahwa pada suatu waktu Kain mendapatkan seorang istri, serta membangun sebuah kota.

Kain bersetubuh dengan isterinya dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Henokh; kemudian Kain mendirikan suatu kota dan dinamainya kota itu Henokh, menurut nama anaknya (Kejadian 4:17)

Dari ayat-ayat di atas, langsung kita ingin tahu, dari mana Kain mendapatkan istrinya. Sampai bahasan ini kita hanya tahu tentang kedua anak Adam dan Hawa, yaitu Kain dan Habel. Pertanyaan seperti ini telah sering diajukan sehingga layak mendapatkan tempat dalam Biblical Hall of Famous Questions.

Sebuah teori yang diajukan menjelaskan adanya sejumlah orang yang cukup banyak, yang sangat bertentangan dengan data Alkitab. Teori ini menegaskan bahwa ada bangsa ”pra-Adam” yang tinggal di sekitar taman Eden, sehingga Kain mendapatkan istri dari antara mereka.

Akan tetapi, teori ini tidak dapat dipertahankan, karena Kitab Suci dengan jelas mengajarkan bahwa Adamlah manusia yang pertama (1 Korintus 15:45), dan istrinya, Hawa, adalah ”ibu semua yang hidup” (Kejadian 3:20).

Jawaban yang paling jelas seharusnya adalah bahwa Adam dan Hawa memiliki anak-anak lain selain mereka yang sejauh ini tersurat, termasuk anak-anak perempuan. Memang, Kejadian 5:4 dengan jelas mengatakan demikian, "[Adam] memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan".

Masalahnya adalah bahwa Kain pasti telah menikahi saudara perempuannya. Namun dengan mengakuinya berarti memunculkan kesulitan berikutnya. Apakah ia melakukan kesalahan incest jika ia menikahi saudara perempuannya sendiri?

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan kasus incest dalam Kitab Perjanjian Lama adalah sembilan pokok utama yang tercatat di dalam Kitab kejadian :

1. Adam adalah manusia pertama (Kejadian 2:7, 18-19 bandingkan 1 Korintus 15:45).

2. Adam hidup selama 930 tahun (Kejadian 5:5).

3. Hawa diberi nama itu karena DIALAH YANG MENJADI IBU BAGI SEMUA YANG HIDUP (Kejadian 3:20)

4. Adam dan Hawa MEMPERANAKKAN ANAK-ANAK LELAKI DAN PEREMPUAN (Kejadian 5:4)

5. Segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik ketika pertama kali dijadikan (Kejadian 1:31).

6. Kebaikan ini telah dirusak ketika "dosa telah masuk ke dolam dunia oleh satu orang" (Roma 5:12 bandingkan Kejadian 3)

7. Penciptaan dikutuk oleh Allah (Kejadian 3: 17 bandingkan Roma 8:20-22) karena dosa Adam.

8. Abraham kawin dengan saudaranya perempuan seayah lain ibu. (Kejadian 20:12)

9. Hukum perkawinan dengan kerabat dekat berasal dari zaman Musa (Imamat 18:20)

Kesembilan pokok utama ini memberikan petunjuk yang mengisyaratkan bahwa Kain tentu telah mengawini saudara perempuannya sendiri.

Paling sedikit ada dua hal yang dapat dikatakan menanggapi hal yang di jaman modern ini dianggap memalukan. Pertama, jika umat manusia berkembang biak dari satu pasang saja, sebagaimana kita percaya bukti menyatakan demikian, perkawinan-perkawinan antarsaudara semacam itu tidak dapat dihindarkan. Jika kita menuntut harus ada cara lain untuk memulai umat manusia maka itu merupakan pengharapan yang tidak pada tempatnya.

Yang kedua, pendapat tentang incest haruslah diselidiki dengan lebih saksama. Mula-mula dosa incest dihubungkan dengan hubungan seksual antara orangtua dengan anak-anak. Baru sesudah itulah pendapat tentang incest diperluas menjadi hubungan-hubungan antar saudara sekandung.

Ketika Allah menciptakan Adam dan Hawa, hanya merekalah manusia yang ada. Kitab Kejadian menceritakan asal usul mereka masing-masing yang khas, dan bagaimana mereka diperintahkan untuk berkembang biak dan memenuhi bumi (dengan keturunan mereka).

Sekalipun Adam dan Hawa mempunyai banyak anak laki-lakl dan perempuan, nama-nama yang kita ketahui hanya tiga: Kain, Habel dan Set. Yang tiga ini dibicarakan begitu rinci karena peristiwa-peristiwa penting yang kita perlu ketahui. Bagaimanakah rupa anak-anak yang lain? Alkitab mengatakan kepada kita bahwa keturunan Adam dan Hawa pergi dan membangun kota-kota. Misalnya, Kain pergi ke tanah Nod bersama istrinya dan membangun sebuah kota (Kejadian 4:16-17), membuat alat-alat musik (Kejadian 4:21), dan mengerjakan logam-logam (pekerjaan pandai besi) (Kejadian 4:22)

Jadi bagaimana hal ini memberitahukan kepada kita bahwa istri Kain adalah saudara perempuannya? Dalam Kejadian 3:20 kita membaca bahwa Hawa diberi nama itu karena dialah yang menjadi ibu dari SEMUA yang hidup, bukan hanya BEBERAPA yang hidup. Kemudian Kejadian 5:4 memberitahukan kepada kita bahwa Adam dan Hawa mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, menurut adat-istiadat Yahudi bahwa mereka mempunyai 33 anak laki-laki dan 23 anak perempuan! (Catatan: Angka ini diberikan di dalam terjemahan William Whitson tentang Josephus - Complete Works, Antiquities III, 1, P 27.) Jangan lupa: Adam hidup sampai 930 tahun, maka terdapat banyak waktu! Juga cukup jelas dari Injil bahwa Adam adalah manusia pertama (1 Korintus 15:45).

Kita dapat simpulkan bahwa kedua orang pertama, yang langsung diciptakan atas perbuatan Allah, mempunyai banyak anak - laki-laki dan perempuan. Kemudian dengan jelas menunjukkan, anak laki-laki harus mengawini anak-anak perempuan untuk terjadinya generasi berikutnya, Istri Kain pasti adalah kerabat yang sangat dekat sekali!

Tetapi Kain adalah anak pertama yang dilahirkan. Sebenarnya ia pasti tidak menerima gen yang tidak sempurna dari Adam dan Hawa, begitu juga anak-anak Adam dan Hawa yang lain. Dalam situasi yang demikian itu, saudara laki-laki dan saudara perempuan tentu boleh kawin tanpa adanya potensi untuk menghasilkan keturunan yang cacat.

Banyak orang dengan segera menolak kesimpulan ini dengan mengacu kepada hukum perkawinan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Namun demikian, hukum ini baru dimulai pada zaman Musa (Imamat 18:20). Ingatlah bahwa Abraham, yang hidup selama 400 tahun sebelum Musa, menikah dengan saudara tirinya satu ayah lain ibu. Tetapi bagaimana hal ini dapat terjadi, terutama dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa perkawinan saudara laki-laki dan saudara perempuan belakangan ini saja tidak diperkenankan oleh hukum untuk menikah dan mempunyai anak, karena keturunannya mungkin akan menjadi cacat?

III. Perkembangan Incest dalam Perjanjian Lama

Kitab Kejadian adalah catatan Allah Yang hadir pada waktu sejarah terjadi. Kitab Kejadian itu adalah Firman Allah yang mengetahui segala sesuatu, dan yang menjadi saksi terpercaya dari masa lalu. Dengan demikian, ketika kita menggunakan Kitab Kejadian sebagai dasar untuk mengerti sejarah, kita dapat mengerti bukti yang sebaliknya akan menjadi suatu misteri. Anda mengetahui, apabila evolusi itu benar, ilmu pengetahuan bahkan akan menghadapi suatu masalah yang lebih besar untuk diterangkan daripada istri Kain, yaitu bagaimana manusia itu dapat berkembang dengan mutasi pada awal-mulanya, karena proses yang berdasarkan hal itu tentu akan membuat anak-anak setiap orang menjadi cacat? Kenyataan yang ada bahwa sekalipun saudara laki-laki dan saudara perempuan dapat menghasilkan keturunan yang sebagian besar tidak cacat adalah suatu kesaksian tentang penciptaan, dan bukan evolusi.

Perkawinan sedarah atau 'incest' barangkali hanya terjadi pada generasi yang pertama atau kedua saja. Kita tahu bahwa Adam dan Hawa mempunyai lagi anak-anak laki-laki dan perempuan selain Kain, Habel, dan Set. Jika hanya ada satu keluarga asli, maka pernikahan mula-mula haruslah antara saudara lelaki dan saudara perempuan. Pernikahan demikian pada mulanya tidak berbahaya. Waktu jaman Adam dan Hawa, Incest tidak dilarang karena waktu Tuhan menciptakan manusia, Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan baik, sehat, sempurna.

Incest berbahaya sebab mewarisi sel keturunan yang berubah yang menghasilkan anak-anak yang cacat, sakit, atau dungu, dan tentunya akan dinyatakan dalam diri anak-anak kalau orang tuanya sama-sama mewariskan sel-sel tersebut. Sudah pasti Adam dan Hawa datang dari tangan Allah yang sudah menciptakan mereka tidak mempunyai sel-sel demikian. Itu sebabnya pernikahan antara saudara lelaki dan perempuan atau kemenakan lelaki dan perempuan dari generasi pertama dan kedua sesudah Adam dan Hawa tidak berbahaya.

Pada zaman Nuh, diperkirakan incest tidak terjadi lagi karena umat manusia sudah banyak. Setelah Air Bah pun, manusia yang ada sudah terdiri atas tiga keluarga, Sem, Ham, dan Yafet, beserta isteri mereka masing-masing. Keturunan Sem tentu saja boleh menikah dengan keturunan Ham atau Yafet.

'Incest' dianggap sebagai tindakan asusila zinah sedarah dan secara resmi baru dilarang di era Musa pada khususnya dan Perjanjian Lama pada umumnya, yang sering dikatakan sebagai 'incest' (Ibrani: 'zamah') adalah hubungan jasmani antara ayah dan anak perempuan, anak dengan gundik ayahnya, mertua dengan menantu, seorang laki-laki dengan saudara kandungnya yang perempuan (kakak atau adik), dengan adik ipar, dengan mertua perempuan, dengan adik dari istri sendiri, banyak contoh-contoh di dalam Alkitab misalnya Imamat 20:21.

Sementara itu Alkitab mencatat bahwa Abraham menikahi saudara tirinya (Kejadian 20:12). Itu sebabnya. fenomena ini bukan tidak dikenal dalam Kitab Suci. Sebelum zaman Musa, incest dalam berbagai bentuknya yang kemudian diharamkan tersebut tidak dianggap salah. Saat itu, bahkan ayah Musa sendiri, yaitu Amram, menikahi seorang bibi muda, yaitu saudara perempuan ayahnya, yakni Yokhebed (Keluaran 6:19). Di Mesir, perkawinan rutin antar saudara sekandung di kalangan Firaun yang berjalan hingga abad kedua membuat hukum Musa menjadi suatu pembedaan yang radikal dengan masa silam mereka di Mesir.

IV. Larangan Incest: Akibat Masuknya Dosa, Mutasi dan Recessive Genes

Alasan-alasan genetik yang melarang incest tidak selalu menyolok. Perkawinan antar keluarga dekat pada masa-masa purba terjadi tanpa kerusakan genetik yang serius. Sekarang ini, resiko kerusakan genetik sangatlah tinggi. Karena kemungkinan-kemungkinan genetik Adam dan Hawa sangat baik, maka tidak ada alasan biologis untuk melarang pernikahan sebatas itu yang di kemudian hari perlu dilarang.

Akibat manusia jatuh dalam dosa, sakit penyakit pun mulai ada. termasuk sakit penyakit yang berasal dari recessive genes. Karena kemungkinan pertemuan Gen antara unsur lemah bertemu unsur lemah atau unsur dominan-bertemu dominan, pertemuan antara faktor resesif kemungkinan ketemunya lebih tinggi, karena satu garis yang bisa menyebabkan cacat pada anak yang diturunkannya, sumbing, cebol, idiot, lumpuh, dll.

Jauh sebelum ilmu pengetahuan Tentang recessive genes ini diketahui manusia, Tuhan sudah terlebih dahulu melarang perkawinan antara saudara sedarah (incest) untuk menghindari hal di atas.

Adalah benar bahwa anak-anak yang dihasilkan sebagai akibat perkawinan antara saudara laki dan saudara perempuan mungkin lahir cacat. Sebenamya, semakin dekat hubungan kerabat pasangan itu, semakin mungkin pula bahwa keturunannya akan cacat. Mudah sekali bagi orang awam untuk mengerti hal ini tanpa sampai detail secara tehnis. Setiap orang mewarisi gen dari ibu dan ayahnya. Sayang sekali, dewasa ini gen-gen ini berisi banyak kesalahan, dan kesalahan-kesalahan ini tampak dalam berbagai cara. Misalnya, beberapa orang membiarkan rambutnya tumbuh sampai menutupi kupingnya untuk menyembunyikan kenyataan bahwa satu kuping lebih rendah daripada yang lain, atau barangkali hidung seseorang tidak berada tepat di tengah wajahnya; mungkin rahang seseorang sedikit tidak berbentuk, dan lain sebagainya. Biarlah kita menghadapinya, alasan utama bahwa kita menamakan satu sama lain normal ialah karena persamaan kita untuk berbuat demikian!

Semakin dekat hubungan antara dua orang, semakin mungkin bahwa mereka akan membuat kesalahan yang sama di dalam gen. Oleh sebab itu, saudara laki-laki dan saudara perempuan mungkin membuat kesalahan yang sama dalam bahan gen mereka. Apabila diadakan penyatuan antara keduanya ini untuk menghasilkan keturunan, maka seorang anak akan mewarisi satu perangkat gen dari masing-masing orang tuanya. Oleh karena gen itu mungkin mempunyai kesalahan yang sama, kalau kesalahan ini dipadukan bersama dan berakibat timbulnya cacat pada anak-anak itu.

Sebaliknya, orang tua yang hubungan kekerabatannya satu sama lain lebih jauh, barangkali mereka mempunyai kesalahan yang berbeda dalam gen mereka. Anak-anak yang mewarisi satu perangkat gen dari masing-masing orangtuanya, barangkali akan mengakhiri beberapa perangkat gen yang berisi hanya satu gen yang jelek di dalam setiap perangkat. Gen yang baik kemudian cenderung untuk menolak gen yang tidak baik sehingga cacat yang serius bagaimanapun tidak akan terjadi. Misalnya seseorang mungkin mempunyai kuping yang hanya sedikit bengkok daripada cacat secara total!

Tetapi kenyataan dari penghidupan zaman sekarang ini tidak berlaku bagi Adam dan Hawa. Ketika keduanya diciptakan, mereka adalah sempurna. Segala sesuatu yang dijadikan Allah itu sungguh amat baik (Kejadian 1:30). Mereka mempunyai lingkungan yang amat ideal bagi pelestarian kehidupan manusia. Taman Eden secara ideal cocok untuk menjaga agar kesehatan dan kekuatan fisik mereka tetap baik. Bahkan sesuadh mereka diusir dari Eden, tampaknya kondisi-kondisi untuk menunjang umur yang panjang masih jauh lebih menguntungkan daripada kondisi-kondisi sesudah terjadi air bah; dan mungkin pada zaman itu sebetulnya tidak terdapat sakit-penyakit. Hal ini berarti bahwa gen mereka adalah sempuma. Tetapi ketika dosa masuk ke dunia (karena Adam), Allah mengutuk dunia sehingga penciptaan yang sempuma itu kemudian menjadi merosot, yaitu menderita kematian dan menjadi busuk (Roma 1:22).


Melalui kurun waktu yang sangat lama, generasi ini tentu menimbulkan akibat segala jenis kesalahan di dalam bahan gen pada makhluk hidup. Lebih-lebih, generasi yang demikian khususnya dipercepat setelah terjadinya Banjir pada zaman Nuh, yang disebabkan oleh keadaan iklim yang lebih kasar yang berlaku pasca Banjir. Akibat datangnya penghukuman yang mengerikan berupa air bah, harapan hidup (usia) manusia secara progresif menjadi lebih pendek. Sebagai contoh, pasti ada jumlah yang lebih besar radiasi kosmik yang berbahaya yang masuk dan menyebabkan mutasi (istilah teknis untuk kecelakaan, kerusakan, dan kesalahan-kesalahan [Misalnya kesalahan mengkopi] di dalam gen-gen [informasi keturunan]. Mutasi demikian setelah terjadi lalu diteruskan pada generasi berikutnya, dan demikianlah kesalahan-kesalahan ini terhimpun dalam populasi sejalan dengan berlalunya waktu. Rupanya, secara perlahan berlaku dampak kutukan karena dosa terhadap kesehatan fisik dan stamina umat manusia, bahkan jauh setelah manusia jatuh dalam dosa.

Lantas tahukah Anda siapa pelaku Incest pertama di dunia ini? Dan siapakah pembuat Sunnah Keji dan Tercela ini pertama kali di alam semesta ini? Dialah Raja Namrudz (Nimrod) dari Babilonia. Namrudz (2275 SM -1943 SM) sering pula disebut Nimrodz, yang memiliki gelar The Mighty Hunter (pemburu yang gagah perkasa; pemburu yang ulung) karena keahliannya memburu. Selain itu, Namrudz juga digelari Dewa Bacchus dan juga Dewa Matahari. Pada zamannya, Namrudz merupakan seorang raja yang cerdas, namun kecerdasannya itu membuatnya bersikap sombong dan mengaku Tuhan. Namrudz sendiri merupakan kata jamak yang memiliki arti ”Mari Memberontak”. Namanya tercatat dalamAlkitab (Kejadian 10:8,9; 1 Tawarikh 1:10; Mikha 5:6), dan Al-Quran (Al Baqarah 124:87; 258:163,164). Namrudz merupakan anak dari Kushyi (Kush), cucu Nabi Nuh. Ibunya bernama Semiramis, seorang wanita cantik yang di usia remaja telah dinikahkan.
IV. Larangan dan Sanksi Hukum Incest: Perlindungan Allah Terhadap Pribadi, Struktur Keluarga, dan Masyarakat

Menjelang zaman Nabi Musa (kira-kira 2,500 tahun kemudian), kesalahan-kesalahan yang memerosotkan telah terhimpun sampai tingkat sedemikian rupa di dalam ras manusia sehingga perlu bagi Allah untuk memberikan hukum-hukum perkawinan antar saudara laki-Iaki dan saudara perempuan (dan kerabat dekat) (Imamat 18:20). Secara keseluruhan, tampaknya ada tiga alasan yang saling terkait untuk memberikan hukum-hukum ini :

1. Sebagaimana telah kita bicarakan, ada kebutuhan untuk melindungi terhadap adanya potensi yang bertambah untuk menghasilkan keturunan yang cacat;

2. Di samping kendala yang nyata bagi semua orang, hukum-hukum ini bersifat menolong dalam mempertahankan bangsa Yahudi supaya kuat, sehat dan sesuai dengan tujuan-tujuan Allah;

3. Hukum-hukum itu merupakan alat untuk melindungi pribadi, struktur keluarga, dan masyarakat luas. Kerusakan psikologis yang disebabkan oleh hubungan perkawinan antar saudara tak dapat dikurangi. Orang hanya dapat memandang pada masyarakat kita sendiri untuk mengenali kenyataan ini.

Terjadinya incest sejak zaman Adam sampai zaman Nabi Nuh di atas menimbulkan pertanyaan tambahan tentang perkawinan antar saudara atau saudara sekandung. Kalau perkawinan antar saudara dilarang dalam Kitab Suci, menurut hukum Musa, bagaimana kita menjelaskan perkawinan antar saudara sekandung di sini? Karena Adam dan Hawa diciptakan langsung oleh Allah dalam keadaan yang sempurna, maka dapat diperkirakan bahwa gen (plasma pembawa sifat) mereka juga sempurna.

Kejadian 5:4 memberi tahu kita bahwa selama rentang waktu 930 tahun usia Adam (800 tahun sesudah Set lahir), dia mempunyai lagi anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan yang lain. Oleh karena Adam dan Hawa diperintahkan untuk membentuk keluarga yang besar untuk mendiami bumi (Kejadian 1:28), maka masuk akal mengasumsikan bahwa mereka terus melahirkan anak-anak selama periode waktu yang panjang, sebab terdapat kondisi yang ideal bagi manusia waktu itu untuk berumur panjang.

Tentu saja perlu bagi generasi sesudah Adam agar bisa melanjutkan keturunan maka mereka berpasangan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan; jika tidak demikian maka umat manusia akan habis. Baru pada generasi-generasi berikutnya dimungkinkan bagi sesama sepupu dan kerabat yang lebih jauh untuk menjadi pasangan pernikahan. Tampaknya tidak terdapat kesepakatan yang pasti bahwa pernikahan dua bersaudara laki-laki – perempuan bisa dicap sebagai dosa incest sampai zaman Abraham, yang menekankan kepada orang Mesir bahwa Sarah adalah saudara perempuannya (bdg. Kejadian 20:12); dengan demikian ia menunjukkan kepada orang Mesir bahwa jika Sarah adalah saudara perempuannya, mustahil dia adalah istrinya (Kejadian 12:13).

Ketika dosa masuk ke dalam dunia pada waktu kejatuhan manusia, maka bersama dengannya datang kematian, penyakit, dan kerusakan, sehingga timbunan gen lambat laun menjadi rusak. Mula-mula, tidak ada akibat jelek yang timbul dari perkawinan antar saudara sekandung, dan sekiranya dosa tidak memasuki dunia, agaknya bahaya juga tidak akan masuk.

Akan tetapi, setelah beberapa generasi, penyakit, lingkungan, dan dosa mulai meminta korban dari timbunan gen, sehingga menghasilkan gen yang berubah bentuk dan sifatnya dan juga rusak.Pada zaman Musa perkawinan antar saudara sekandung dilarang dari segi biologis, karena sekarang hal itu membahayakan dan dapat mengakibatkan lahirnya keturunan yang cacat bentuknya, idiot, atau menyandang cacat lainnya.

Tambahan pula, selain masalah biologis, perkawinan antar saudara sekandung juga merupakan masalah etis. Allah melarang perkawinan antar saudara sekandung atas pertimbangan-pertimbangan moral, dan ini lebih penting daripada aspek biologis (Imamat 20:11, dst).

Perkawinan antar saudara sekandung mengacaukan struktur sosial dan moral dalam keluarga. Selain Gereja, maka keluarga adalah satu-satunya lembaga yang ditetapkan Tuhan di dalam dunia. Pada pembentukan struktur keluarga yang pertama pada zaman Kain, sulit diperkirakan apa yang terjadi dengan perkawinan campur. Maka kita tidak dapat memastikan seberapa luasnya perkawinan antar saudara sekandung itu terjadi. Satu hal yang pasti: sesudah struktur keluarga yang ditetapkan Tuhan itu menjadi mantap, maka perkawinan incest (antar saudara sekandung) adalah dosa.

Sejak pada zaman Musa, Kitab Imamat dan Ulangan, menyebut sanksi nyata terhadap perkawinan antara dua saudara laki-laki – perempuan. Karena incest termasuk tindakan asusila zinah, maka ada hukum-hukum yang mengatur segala bentuk incest (Imamat 18:7-17; 20:11-12, 14,17,20-21; Ulangan 22:30; 27:20, 22, 23). Hukum-hukum ini dengan jelas menyebutkan bahwa hubungan seksual atau perkawinan dilarang terjadi dengan seorang ibu, ayah, ibu tiri. saudara perempuan, saudara lelaki, saudara lelaki tiri, cucu perempuan, menantu perempuan, menantu lelaki, bibi, paman atau istri dari saudara lelaki. Sanksi hukum bagi pelaku incest pada masa itu adalah kutukan dan hukuman mati, dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. Pelaksanaan hukuman mati berupa dibakar atau dirajam, suatu bentuk hukuman mati yang berlaku juga dimasa pelayanan Yesus di Palestina (Yohanes 8:3-7).

Sedangkan pada masa modern saat ini, tentang incest, dikatakan oleh Dr. Med. Ahmad Ramali dan K. St. Pamoentjak, dalam Kamus Kedokteran, bahwa incest adalah zinah sedarah, persetubuhan antara dua orang yang masih mempunyai hubungan sedarah, sehingga perkawinan sah antara mereka dilarang oleh adat dan hukum.

Referensi

1. Dr. Med. Ahmad Ramali dan K. St. Pamoentjak, dalam Kamus Kedokteran, Arti dan Keterangan Istilah. Disempurnakan oleh: dr. Hendra T. Laksman. Lektor Kepala pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penerbit Djambatan. Cetakan keenam belas 1991.

2. Gleason Leonard Archer. Encyclopedia of Bible Difficulties. Hal-hal Sulit dalam Alkitab. Prakata Oleh: Kenneth S. Kantzer. Penerjemah: Suhadi Yeremia. Penyunting: Ibu Tjuk Subandiah Kaihatu. Mula-mula diterbitkan di Amerika Serikat oleh The Zondervan Corporation, Grand Rapids, Miichigan. Hak Cipta 1982 The Zondervan Corporation. Hak Cipta terjemahan Indonesia Penerbit Gandum Mas. Cetakan pertama tahun 2004.

3. Henry Morris. The Bible Has the Answer. Baker Book House. 1971.

4. H. C. Leopold. Exposition of Genesis. Vol. 1. Baker Book House. 1958.

5. Josh Mc Dowell and Don Stewart. Jawaban Bagi Pertanyaan Orang yang Belum Percaya. Diterbitkan oleh: Here’s Life Publishers, Inc. P.O. Box 1676. San Bernardino, CA. 92402. Penerbit Gandum Mas. Malang.

6. Dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HARAP MENCANTUMKAN NAMA, EMAIL(HP/TLPN RMH). WAJIB DICANTUMKAN