Jumat, 12 Juni 2009

SHOLAT DAN DOA DALAM KRISTEN



Menguak Arti Doa dan Sholat (SembahyangHarian; Ibadat Harian) dalamTradisi Gereja Timur (Gereja Orthodox)

Oleh :
Presbyter Rm.Kirill J.S.L.
(Omeц Кирилл Д.С.Л.)
GEREJA ORTHODOX INDONESIA
(THE INDONESIAN ORTHODOX CHURCH)

I. MENGUAK ARTI DOA DAN SHOLAT (SEMBAHYANG HARIAN; IBADAT HARIAN) DALAM TRADISI GEREJA ORTHODOX


Bismil Abi wal Ibni wal Rohul Quddusi
Al Ilahud Wahid. Amin.

Banyak orang berseloroh, terutama saudara kita kaum Muslim bahwa, “Orang Kristen itu tidak pernah sholat, namun hanya berdoa”. Ungkapan ini mau tidak mau harus kita akui, namun sayang sekali ada sebagian orang Kristen yang tidak dapat membedakan antara doa dan sholat (sembahyang harian, ibadat harian).

Tidak dapatnya membedakan antara doa dan sholat inilah, maka tercetus kata-kata bahwa “doa” yang dilakukan oleh orang Kristen, dan ”sholat” yang dilakukan oleh saudara kita Muslim itu sama saja maknanya. Orang percaya boleh-boleh saja berpendapat bahwa bahwa antara “doa” dan ”sholat” itu sama saja maknanya, namun yang menjadi masalah, apakah pandangan yang demikian sesuai dengan kenyataan dan apakah sholat itu didukung oleh fakta Alkitab ?

Sebagai orang percaya yang setiap tindakan dan lakunya selalu dilandaskan atas Firman Allah, maka untuk menentukan itu sama atau tidak, adalah bijaksana jika kembali pada pernyataan-pernyataan yang ada dalam Alkitab.
Dalam Gereja Orthodox memang dibedakan antara Sembahyang, sebagai suatu ibadah dan penyembahan kepada Allah yang disertai waktu tertentu, gerak tubuh tertentu, serta isi doa-doa tertentu, dengan urutan yang telah tertentu pula, dan Doa dengan kata-kata spontan langsung yang diucapkan dalam permohonan kepada Allah, seperti satu-satunya cara yang dilakukan oleh Gereja-Gereja Protestan.




A. Doa

Seorang peneliti di Praha menemukan angka-angka yang menarik tentang jumlah rata-rata perkataan yang diucapkan orang dalam sehari. Angka-angka itu adalah sebagai berikut: seorang pendeta: 3420, seorang prajurit di asrama: 7420, seorang pelajar SMP: 8760, seorang istri: 15.300. Yang paling banyak adalah seorang ibu mertua, yaitu 19.800 kata!

Hidup memang dipenuhi kata-kata. Dari pagi hingga malam ribuan kata berhamburan dari bibir dan bertubi-tubi pula kata-kata masuk ke dalam telinga. Banyaknya kata-kata yang berhamburan ini menyebabkan bahaya adanya bahaya kata-kata mengalami kita mengalami inflasi.

Doapun tidak luput dari bahaya inflasi kata. Kata-kata berhamburan dengan mudah dan murah dalam doa, baik doa yang diucapkan nyaring maupun doa yang diucapkan dalam hati. Sebaiknya dipertimbangkan bahwa dalam doa janganlah seenaknya saja mengobral kata-kata dangkal, yang bahkan tidak mempunyai dampak dan makna kerendahan hati dan bagi tujuan keselamatan jiwa. Karena doa yang panjang-panjang, indah-indah, dan berapi-api, akan berakibat banyak orang mengagumi dan memuji-muji si pendoa. Dan hal ini secara lambat akan pemimpin pada peninggian hati dan kesombongan rohani, bukannya kerendahan hati si pendoa. Kitab Pengkhotbah 5:1 memberikan peringatan yang sama: “Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu biarlah perkataanmu sedikit”.

Tetapi bukankah doa adalah berkomunikasi? Dan untuk berkomunikasi diperlukan kata-kata? Jawabannya bisa “ya” dan “tidak”. Kata-kata tidak selalu diperlukan untuk berkomunikasi. Adakalanya komunikasi yang ampuh terjadi justru secara non-verbal. Bukankah pada saat-saat tertentu kehadiran seseorang yang kita cintai – walaupun tanpa bercakap – dapat mengandung sejuta makna? Demikian pula dalam pertemuan dengan Tuhan dalam doa, tidak selalu doa dipenuhi dengan kata-kata, bahkan walaupun hati tidak membisikkan sepatah katapun, namun dalam keheningan pikiran - orang percaya bisa bersekutu bahkan manunggal dengan Tuhan. Inilah pula sebabnya Yesaya Sang Nabi Allah berkata: “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu” (Yes. 30:15).

Berdoa dengan berdiam diri, dimana hati yang lebih banyak berkomunikasi dengan penuh cinta kepada Sang Mempelai Laki-laki guna mencapai tujuan pemanunggalan denganNya sudah lama dikenal dalam tradisi monastisisme (kerahiban)1 Gereja Orthodox sebagai kesinambungan tanpa putus dengan Gereja Para Rasul dan Gereja Purba itu sendiri. Akhir-akhir ini gereja-gereja Protestan mulai melihat nilai doa ini, misalnya dengan meditasi dan kontemplasi yang dikembangkan mulai tahun 1960-an oleh komunitas biara Protestan Taize di Perancis dan beberapa komunitas biara Protestan lainnya.

Hal ini bukan berarti orang harus bertapa dan bersemedi, sebab Tuhan dapat ditemui bukan hanya dalam suasana semedi, melainkan juga dalam hiruk-pikuknya dan hangar-bingarnya hidup dan kerja sehari-hari. Bukan pula maksudnya orang hanya dapat berdoa dalam suasana sepi dan sunyi. Yang perlu sepi bukan terutama tempatnya, melainkan pikiran dan hati kita. Yaitu sepi dari kata-kata yang ramai mengisi perasaan, sampai tidak menyadari kehadiranNya yang lembut dan temaram itu. Inilah makna Allah dijumpai dalam keheningan angin sepoi-sepoi basa seperti yang dialami Elia Nabi Allah:

“Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya… Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: “Apakah kerjamu di sini hai Elia?” Jawabnya: ”Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, … Firman Tuhan kepadanya: “Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun …”
(1 Raj. 19:11-15)

Perihal doa hening yang mendalam ini banyak sekali terungkap dalam Alkitab, bahkan Tuhan Yesus sendiri memberikan contoh tentang doa, seperti dalam Matius 14:23, “Dan setelah orang banyak itu disuruhnya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian disitu”.

Pola Yesus berdoa sendirian di atas bukit, menunjuk pada artian bahwa pada waktu berdoa, Ia menginginkan suasana hening, teduh dan sejuk. Ini adalah cara bagaimana manusia dapat masuk pada batin yang terdalam untuk menemukan jati diri dan merenungkan apa yang Allah inginkan dan telah berikan dalam hidup ini. Doa Tuhan Yesus ini lebih mengarah pada batin yang terdalam dan bukan hanya sekedar kata-kata yang indah, namun lebih bersifat perenungan guna menemukan akunya sendiri untuk masuk dalam pemanunggalan dengan “Sang AKU” [bdk. Kej.17:1; Kel.3:14 – “…AKU adalah AKU…Lagi firman-Nya: “…AKULAH AKU…(bhs. Ibrani: “ Ehyeh asyer ehyeh”; bhs.Yunani: “Ego eimi”;) ]. Dengan bertemunya “aku manusia” dengan “Sang AKU” dalam doa, maka doa yang demikian adalah doa yang didasarkan atas pengalaman hidup bersama-sama dengan Allah. Karena fakta ini, adalah bijaksana jika berdoa tidak memikirkan hal-hal lain kecuali Allah. Paralel dengan doa yang bersifat batiniah ini, meminjam istilah orang Jawa bahwa jika kita berdoa perlu untuk “nutupi babahan hawa sanga”, artinya pada waktu berdoa hindarilah perkara-perkara luar masuk ke pikiran dan batin yang mengganggu konsentrasi untuk menyembah Allah. Hal ini nyata sekali terlihat dari ungkapan Yesus sendiri yang mengatakan : “Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:6).

Jadi doa itu merupakan masalah batin, bukan sekedar ungkapan kata yang tidak berdasarkan pengertian yang dalam mengenai makna doa tersebut. Pengertian yang dalam disini adalah bahwa di dalam doa itu kita sedang masuk dan manunggal dengan Allah.

Pengertian akan makna doa bukan hanya sekedar ulah pikiran, namun perlu penghayatan dan perenungan serta penterjemahan dalam hidup keseharian. Dengan demikian jelas bahwa doa itu tidak dapat dilakukan dengan pura-pura atau supaya dilihat orang bahwa kita adalah orang yang saleh dan suka berdoa, namun ini perlu dilandaskan pada hati yang tulus, rendah hati dan tak terbesit sedikitpun kemunafikan dan arogansi. Karena kalau doa dilandaskan pada kepura-puraan akan berakibat fatal, sebab hal itu tidak mungkin tidak terdeteksi oleh Allah.
St. Paulus dalam suratnya menandaskan, bahwa manusia dapat berseru dalam batin dan menyebut Allah sebagai “Bapa”, itu adalah merupakan karya Allah (Gal.4:6). Manusia tidaklah akan mengaku dalam batin dan berseru pada Bapa dalam hidupnya, jika dalam hidup manusia itu sendiri tidak bertobat dan memberi diri untuk dipimpin oleh dan masuk dalam hidup Ilahi. Masuk dan manunggalnya kita dalam hidup Ilahi inilah, menjadikan sifat dan karakter Allah oleh kuasa Roh Kudus menjadi sifat dan karakter kita. Artinya bahwa kita selalu mengekspresikan hidup Allah, yang oleh Injil Matius disebut sebagai “Terang dunia” (Mat.5:4) sebagai hasil penyatuan kita dengan Sang Terang (Yoh.8:12) melalui doa dan sakramen-sakramen yang terdapat dalam Gereja (Rm.6:3-4; Gal.3:27).

Dengan demikian jelaslah bagi kita, bahwa maksud doa bukan hanya sekedar suatu kewajiban sebagai orang Kristen, namun itu mengarah lebih dalam lagi yaitu untuk menyucikan dan menyatukan hidup serta kehendak kita dengan hidup dan kehendak Ilahi. Dan berdasarkan realita ini, terungkaplah sudah bahwa doa itu tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang biasa kita pikirkan, namun itu perlu kerendahan hati, ketulusan dan perenungan yang mendalam untuk menyatukan kehendak kita dengan kehendak Allah. Dan sifat doa ini dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Disinilah letak perbedaan antara doa dan sholat. Karena sholat itu dilakukan berdasarkan urutan waktu dan mempunyai makna inkarnasi Sang Sabda dan karyaNya.

Jika sholat itu lebih bersifat sanjungan dan pujian serta penyembahan kepada Allah, doa lebih bersifat permohonan. Dan doa ini dilakukan secara spontan menggunakan bahasa sendiri, tanpa memiliki aturan tertentu. Ini bisa dilakukan ketika orang selesai sholat atau dimanapun dan kapanpun dia berada dan merasa membutuhkan pertolongan Allah. Ini dapat dilakukan tanpa harus mengikuti tertib tertentu, tak pula harus menghadap ke kiblat di Timur, boleh dengan mata tertutup dan tangan terlipat atau dengan mata tengadah ke langit dan tangan menadah tanda mengharap.

Jadi tujuan doa bukanlah semata-mata mengeluarkan perasaan (meminta ini dan itu, mengeluh, dan sebagainya), melainkan pertama-tama untuk memasukkan perasaan: “Tuhan ada di sini, menyucikan dan menyatukan hidup serta kehendak kita dengan hidup dan kehendak Ilahi!”. Salah satu doa yang menjadi sarana untuk menyucikan dan menyatukan hidup serta kehendak kita dengan hidup dan kehendak Ilahi ini adalah Doa Puja Yesus atau lebih dikenal sebagai Doa Yesus. Doa spontan ini dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan cara apa saja asal hormat dan sopan, menggunakan bahasa spontan, dan menghadap kemana saja

B. Doa Tasbih: Doa Puja Yesus (Doa Yesus. Doa Batin)

“Doa Yesus serupa dengan doa lain apa pun, namun lebih kuat daripada semua doa lain berkat Nama Yesus Yang Mahakuasa, Tuhan dan Penyelamat kita. Kita perlu menyeru Nama ini dengan iman yang penuh dan teguh – dengan benar-benar yakin, bahwa Yesus hadir … Doa Yesus bukanlah semacam mantra. Dayanya berasal dari iman akan Tuhan, dan dari persatuan mendalam hati serta budi kita denganNya”
[St. Theopan Sang Petapa, 1894]

Disamping Doa dan Sholat (Sembahyang Harian, Ibadat Harian), Gereja Orthodox juga mengenal semacam Doa Rosario ”Salam Maria” dalam Gereja Roma Katolik, tetapi doa tasbih Orthodox ini sangat Kristosentris, bukannya Mariasentris. Doa ini adalah doa“samadhi” atau “berdzikir2 dengan tasbih Orthodox” yang disebut sebagai “Doa Puja Yesus” (“Doa Yesus” ; ”The Jesus Prayer”) dengan menggunakan semacam “tasbih” yang dirajut dari benang, disebut dalam bahasa Yunani sebagai “komboskini” (“Komboschoinia”; ” komvoschini”) atau “Chotki” (“Чётки“) dalam bahasa Rusia. Dan praktek yang dilakukan oleh kaum “sufi” Kristen Orthodox yang disebut kaum “hesykhastis”, yaitu para praktisi “hesykhasme” (“Sufisme3 Kristen Orthodox”)4. Doa Yesus disebut juga Doa Batin/Doa Hati/Doa Qolbu (“Noera Prosevkhee”; doa “Budi Rohani”) yang secara khusus menunjuk kepada “Doa Puja Yesus” dari Gereja Timur (Gereja Orthodox).

Doa Yesus berasal dari Perjanjian Baru dan mempunyai tradisi penggunaan yang lama sekali. Doa Yesus bersandarkan pada nasehat St. Paulus Sang Rasul untuk Kaum Goyim (Bangsa non Yahudi), untuk berdoa tak kunjung putus: “Berdoalah tak kunjung putus” (“pray without ceasing” 5) (I Tes. 5:17) dan juga atas anjuran Tuhan Yesus sendiri pada para muridNya: "Waspadalah dan berdoalah tak henti-hentinya …” (Luk. 21:36). Rumusan doa ini berdasarkan seruan si buta di Yerikho (Luk. 18:38) dan doa si pemungut cukai (Luk. 18:13), yaitu: “Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”. Rumusan ini juga bisa diperpendek berupa: “Kyrie Iesou Khriste, eleyson me”, “Kyrie eleyson”. Bahkan rumusan ini bisa diperpendek dengan hanya menyebut “Nama Yesus” saja. Doa ini seharusnya diulang dengan hening, dengan tidak tergesa-gesa, sementara menarik dan mengeluarkan nafas mengikuti rumusan doa ini.

Doa Yesus (Doa Puja Yesus) mampu membawa kepada doa yang paling murni (pure prayer), yang tak boleh menimbulkan fantasi-fantasi, maupun teknik-teknik visualisasi, inkubasi, mimpi dan positive thinking dan semua teknik yang bersifat psikis dan pemaksaan kekuatan jiwani daripada memberi kebebasan karya Roh Kudus. Keadaan doa yang paling murni (Pure prayer) yang harus dicapai dalam Doa Puja Yesus itu justru untuk mencapai “apatheia” (“ketiadaan pathos” atau “ketiadaan pamrih-pamrih kehendak dan nafsu”) yang kadang-kadang justru menjadi tujuan praktek-praktek meditasi lain dengan melakukan manipulasi psikis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Bahkan tujuan Doa Puja Yesus ini bukan untuk mendapatkan/ mengejar karunia-karunia Roh Kudus (karena karunia-karunia Roh Kudus akan terhenti/tidak kekal – 1 Kor. 13:8-10), tetapi untuk bersatu dengan Roh Kudus, Sang Pemberi Hidup, sumber dan asal karunia-karunia Roh, yang adalah Allah yang kekal itu sendiri. Nama Yesus hanya merupakan sarana, yang harus membawa kepada pribadi Yesus sendiri, dan mengulang-ulang NamaNya tanpa membawa masuk ke hadiratNya tidak ada gunanya. Melalui Dzikir doa Puja Yesus ini, nama “Sang Sabda Menjelma”, yaitu Yesus Kristus diucapkan dengan penuh kekhusyukan, sujud hormat dan kedalaman iman sebagai sarana panunggalan secara batiniah denganNya sehingga melaluiNya manunggal dengan Allah Sang pemilik Sabda itu, yang satu Dzat hakekat dengan Sang Firman/SabdaNya. Inilah tujuan akhir dari keselamatan orang Kristen, yaitu mencapai Theosis atau Deifikasi 6.

Rumusan Doa Yesus berabad-abad sampai saat ini tetap sama disetiap Gereja Orthodox dari yurisdiksi manapun di seluruh dunia. Dalam Gereja-gereja Orthodox yang berbahasa Yunani rumusannya adalah:
“Kyrie Iesou Khriste Hyos Ton Theon, eleyson me ton amartolon”, yang berbahasa Aramia (Gereja Orthodox Patriarkhat Syria): "Moran Yeshu'a meshiHa, bar Alaha ethraham 'al li, Hataya", yang berbahasa Ibrani (Gereja Orthodox Patriarkhat Yerusalem): “Adonai Yoshua Ha-Masiakh, ben ha-Elohim, rehem na‘alay, ‘al ish khotea”, yang berbahasa Arab: “Ya Robbu Yesu Almasih, ibnullah, arhamna ‘ana al-khoti’a” atau “Ya, Robbu Arham”, Gereja-Gereja Orthodox berbahasa Slavonika, misalnya Gereja Orthodox Patriarkhat Moskow, Rusia: “Gospodi Iesuse Kristie, Tzinye Boziie, pamilui mya gresnago” (“Господи Иисусе Христе, Сыне Божий, помилуй мя грешнаго”), yang berbahasa Romania (Gereja Orthodox Patriarkhat Romania): “Doamne Iisuse Hristoase, Fiul lui Dumnezeu, miluieşte-mă pe mine păcătosul”.

Sedang Gereja-Gereja Orthodox yang berbahasa Inggris: “O Lord Jesus Christ, Son of God, have mercy on me a sinner” atau “O Lord Jesus Christ, have mercy on me”. Yang berbahasa Portogese: “Senhor Jesus Christo, Deo Fillio, dis culpa, povo nostros”, yang berbahasa Latin: “Deo Jesus Christus, miserere mei, peccator” yang berbahasa Mandarin: “Zhu Ye su ji du shang thi zhi zi qing lian min wo zhe ge zui ren zhu Ye su ji dud u, lian min wo” Juga Doa Yesus ini bisa didaraskan dalam bahasa-bahasa daerah setempat, seperti bahasa Jawa: “Duh, Gusti Yesus Kristus Putrane Allah mugi melasi kwulo tiyang doso meniko”, bahasa Dawan (Timor): “Usi Yesus Kristus, Uisneno Anah, tamnaukau atoin asanat”, bahasa Tetun (Timor-Timur): “Nai Yesus Kristus, Maromak Oan, Sadia ami-ema sala”. Tetapi semua rumusan doa Yesus itu mempunyai arti yang sama: “Ya Tuhan Yesus Kristus Anak Allah, kasihanilah hamba orang berdosa ini”.

Seruan dan pendarasan Nama Kudus Yesus dalam Doa Yesus dari Gereja Orthodox Timur ini sekarang digunakan juga oleh Gereja Roma Katolik, Anglikan dan Protestan, walaupun dalam bentuk yang tidak mendalam. Pembahasan mengenai Doa Yesus dan“hesykhasme” (“Sufisme Kristen Orthodox”) ini memerlukan tempat tersendiri.

C. Sholat (Sembahyang Harian, Ibadat Harian)

Panggilan Adzan7 untuk memulai sholat:

(rukuk8, tanda salib)
Halumma nasjud wa narka’ lil Malikina wa Ilahina,
(Marilah kita sujud dan rukuk kepada Allah dan raja kita)
Halumma nasjud wa narka’ lil Masihu Malikina wa Ilahina,
(Marilah kita sujud dan rukuk kepada Almasih, Allah dan raja kita)
Halumma nasjud wa narka’ lil Masihu Hadza Huwa Malikina wa Ilahina
Marilah kita sujud dan rukuk kepada Almasih, yang sebenarnya Allah dan raja kita)

(Kitab Sholat Tujuh Waktu Gereja Orthodox ; Misi Orthodoxia Indonesia)

Tahukah anda bahwa orang Muslim yang pertama yang menaklukkan Yerusalem (636), Khalifah Umar bin Khatab, memasuki Yerusalem dengan damai? Ia disambut oleh Sophronius I (634-638), Patriarkh dan Uskup Agung Gereja Orthodox Yerusalem dan diantarkan ke tempat ibadah Kristen yang paling suci, Gereja Makam Suci (Holy Sepulchere Church). Ketika ia hendak memasuki tempat suci itu terdengar adzan sholat Dzuhur. Uskup Sophronius adalah seorang tuan rumah yang penuh hormat, maka ia bertanya kepada Sang Khalifah: “Tidakkah tuan akan menjalankan sholat? Akan saya ambilkan sehelai sajadah9 untuk Anda dan Anda akan dapat menjalankan sholat di sini”. Sang Khalifah berpikir sejenak dan berkata: “Terima kasih, tetapi maaf. Jika saya menjalankan sholat di tempat suci Anda, para ummat saya akan menirunya dan merebut tempat ini. Saya akan pergi ke tempat yang agak terpisah”. Maka ia pun pergi menjauh dan menjalankan sholatnya di tempat yang sekarang merupakan sebuah masjid di dekat situ. Dari kisah nyata dalam sejarah ini tahulah kita bahwa Gereja Kristen Perdana sejak awal (sebelum kedatangan pasukan dan kaum Muslim) sudah melakukan sholat.

Dalam Gereja Orthodox ada dua bentuk Sembahyang Harian yang mengikuti aturan tertentu ini, yaitu yang mengikuti cara Nabi Daniel : Tiga Kali sehari (Dan. 6:11-12, Mzm. 55:18), atau juga mengikuti pola yang dikatakan oleh Nabi Daud: ”Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji ENGKAU…” (Mzm. 119:164). Sembahyang tiga kali itu terdiri dari: Pagi, Tengah-Hari, dan Sore Hari (Mazmur 55:18). Waktu-waktu Sembahyang itu sendiri sudah dimulai sejak zaman Nabi Musa. Allah memerintahkan agar Imam Harun mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada “Waktu Pagi” dan “Waktu Senja” (Kel. 29:38-39, 30:7-8).

Barangkali agak asing rupanya, jika orang Kristen berbicara tentang sholat. Karena kata “Sholat” atau “Sembahyang” itu sendiri jarang disinggung-sentuh oleh orang Kristen. Padahal jauh sebelum saudara kita kaum Muslim menggunakan kata ini, orang Kristen Orthodox telah menggunakan kata “Sholat” saat menunaikan ibadah. Kata “Sholat” itu sendiri dalam bahasa Arab, serumpun dengan kata “Zelota” dalam bahasa Arami (Syria) yaitu bahasa yang digunakan oleh Tuhan Yesus sewaktu hidup di dunia. Dan bagi ummat Kristen Orthodox Arab yaitu ummat Kristen Orthodox yang berada di Mesir, Palestina, Yordania, Libanon dan daerah Timur-Tengah lainnya menggunakan kata “Zelota” tadi dalam bentuk bahasa Arab “Sholat”, sehingga doa “Bapa kami” oleh ummat Kristen Orthodox Arab disebut sebagai “Sholattul Rabbaniyah”. Dengan demikian “Sholat” itu bukanlah datang dari ummat Islam atau meminjam istilah Islam. Jauh sebelum agama Islam muncul, istilah Sholat untuk menunaikan ibadah telah digunakan oleh ummat Kristen Orthodox, tentu saja dalam penghayatan yang berbeda. Setelah mengerti bahwa istilah “Sholat” dalam menunaikan ibadah adalah milik ummat Kristen sendiri, maka tiba saatnya bagi kita untuk membahas landasan aqidah “Sholat” itu sendiri.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Firman itu selalu tinggal dan qoimah (melekat) satu dalam Diri Allah yang Esa, dengan demikian daeri kekal sampai kekal Firman itu selalu bersama-sama dengan Allah (Yoh.1:1; 10:30). Padahal sesuai dengan pernyataan Injil Yohanes 4:24, bahwa Allah itu adalah Roh, kalau Allah itu adalah Roh, berarti Allah itu tak bertubuh jasmaniah, tak beragawiah, tak bertulang dan tak mempunyai darah. Ini menunjuk pada pengertian bahwa Firman yang tinggal melekat dari kekal sampai kekal di dalam Allahpun juga tak mempunyai tubuh, tak mempunyai raga, tak mempunyai tulang dan tak mempunyai darah. Firman yang tinggal melekat dalam diri Allah, sesuai dengan janji Allah terhadap manusia telah nuzul ke jagad dan menjelma menjadi manusia (Yoh.1:14) melalui Sang Dara Maria dengan sebutan Yoshua Ha Massiha, Isho Messiha atau Isa Al Masih dan yang lebih dikenal dengan sebutan Yesus Kristus.

Menurut pandangan Gereja Perdana atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Gereja Orthodox”, bahwa untuk menyatu dan manunggal dengan Kristus, tidaklah dapat dilakukan berdasarkan kekuatan sendiri, namun itu harus dilakukan melalui sarana-sarana yang disediakan dalam Gereja. Sarana-sarana tersebut adalah bersifat sakramental, karena melalui sakramen-sakramen itulah kita secara mistika telah disatukan dengan Kristus. Ini nyata sekali kalau kita melihat dalam “Sakramen Baptisan”. Pada saat kita dibaptis, kita telah disatukan dengan penyaliban, kematian dan kebangkitan Kristus (Rm.6:3-4), serta menunggal dalam kehidupan Kristus dalam Roh Kudus yang diturunkan pada hari Pentakosta, melalui pengurapan kudus dalam “Sakramen Krisma” hingga hidup kekal termeterai dalam diri kita sebagai orang percaya (Kis.8:14-17; 2:1-4; Ef.1:13; II Kor.1:21-22; I Yoh.2:27). Agar pemanunggalan kita dengan Sang Firman Menjelma itu tetap terjaga, maka perlu sekali untuk mengambil bagian dalam “Sakramen Perjamuan Kudus” (“Sakramen Ekaristi Kudus”). Karena dalam sakramen ini, “roti” itu bukan sekedar roti namun itu adalah benar-benar “Tubuh Kristus”, demikian juga “anggur” itu bukan sekedar anggur namun benar-benar “Darah Kristus”. Dengan demikian jelas, bahwa dengan mengambil Sakramen Perjamuan Kudus itu, orang percaya masuk dalam hidup Kristus itu sendiri (Mat. 26:26-28; I Kor. 10:16-17; 11:24-30). Dan supaya dalam melakukan sakramen ini tak terkotori oleh dosa, maka “Sakramen Pengakuan Dosa” perlu dilakukan disini (Mat.16:19; 18:18; Yoh. 20:22-23), dan masih ada lagi yang lain yang bersifat sakramental yang dilakukan dalam penghayatan kehidupan Iman Kristen Orthodox sebagai manifestasi penyatuan dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus itu terutama terutama dalam “Sakramen Perjamuan Kudus”, sehingga Perjamuan Kudus itu disamping sebagai landasan dan sumber kesatuan ummat Gereja (I Kor. 10:16-17), ini juga sebagai sumber dan tujuan dari semua asal dan gerak dan sakramen Gereja, termasuk pula ibadah-ibadah yang lain yang tak bersifat sakramental, misalnya puasa, naik haji (berziarah) ke tanah suci Palestina menjelang perayaan Paskah (Pekan Kudus) dan sholat. Jadi sholat itu muncul bukan atas dasar reka-rekaan individu, namun itu muncul berdasarkan makna Inkarnasi Sang Sabda itu sendiri.Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menjelaskan apa dan bagaimana langkah dan gerak dalam menunaikan sholat. Dalam Kitab 2Tawarikh 6:12 misalnya, disebutkan bahwa sikap sholat itu berdiri dan menadahkan tangan. Kitab Ezra juga menandaskan bahwa berlutut dan bersujud menjadi bagian dalam sikap sholat (Ezra 9:5). St. Markus dalam Injilnya menyebutkan : “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa…“ (Mrk.11:25), “Demikian kata Yesus lalu Ia menengadah ke langit dan berkata : “Bapa…“ (Yoh.17:1), “…supaya dimana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci …“ (I Tim.2:8), “…Paulus berlutut dan berdoa bersama-sama dengan mereka…“ (Kis.20:36), “…lalu ia berlutut dan berdoa…“ (Luk.22:41), ”Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa” (Mat.26:39), “Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa…“ (Mrk.14:35), “Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa” (Ef.3:14), “maka tersungkurlah…di hadapana Dia…dan menyembah Dia…“ (Why.4:10).

Jadi jelas kalau demikian bahwa sikap sholat menurut Alkitab dan Gereja adalah berdiri, menengadah ke langit, menadahkan tangan, berlutut (membungkukkan tubuh) dan sujud (merebahkan diri ke tanah), dan sikap sholat seperti itu tetap terjaga dan terpelihara dalam Gereja Perdana atau Gereja Orthodox sampai kini, serta diikut lestarikan oleh agama Islam yang muncul kemudian.

Di sisi lain perlu dijelaskan di sini, bahwa dalam Gereja Orthodox sesuai dengan data-data Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menyebutkan bahwa sholat itu dilakukan 7 kali dalam sehari (Mzm.119:164) berdasarkan urutan waktu dan masing-masing sholat itu mempunyai makna theologis di sekitar Inkarnasi Sang Sabda dan karyaNya, sedangkan nama-nama sholat tersebut adalah sebagai berikut :

1. “Sholat Jam Pertama” (“Sembahyang Singsing Fajar”, “Orthros”, “Prima”, “Laudes”) atau “Sholatus Sa’atul Awwal” (“Sholatus Shakhar”), yaitu ibadah pagi sebanding dengan “Sholat Subuh” dalam agama Islam (jam 5-6 pagi). Data ini diambil dari Kitab Keluaran 29:38-41 berkenaan dengan ibadah korban pagi dan petang, yang dalam Gereja dihayati sebagai peringatan lahirnya Sang Sabda Menjelma sebagai Sang Terang Dunia (Yoh.8:12).

2. “Sholat Jam Ketiga” (“Sembahyang Jam Ketiga”, “Tercia”) atau “Sholatus Sa’atus Tsalitsu”, sholat ini sebanding dengan “Sholat Dhuha” dalam agama Islam meskipun bukan sholat wajib (jam 9-11 pagi). Ini terungkap dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:1,15 yang mempunyai pengertian penyaliban Yesus dan juga turunnya Sang Roh Kudus (Mrk.15:25; Kis.2:1-12,15). Itu sebabnya dengan sholat ini, kita teringatkan agar mempunyai tekad dan kerinduan untuk menyalibkan dan memerangi hawa nafsu sendiri, agar rahmat Allah dalam Roh Kudus melimpah dalam hidup.

3. “Sholat Jam Keenam” (“Sembahyang Jam Keenam”, “Sexta”) atau “Sholatus Sa’atus Sadis”. Ini nyata terlihat dalam Kisah Para Rasul 10:9 dan sholat ini sebanding dengan “Sholat Dzuhur” dalam agama Islam (jam 12-1 tengah hari), yang mempunyai makna sebagai peringatan akan penderitaan Kristus di atas salib (Luk.23:44-45), dan pencuri yang disalib bersama-sama Kristus bertobat. Berpijak dari makna ini, kitapun diharapkan seperti pencuri selalu ingat akan hidup pertobatan dan selalu memohon rahmat Ilahi agar mampu mencapai tujuan hidup yaitu masuk dalam kerajaan Allah.

4. “Sholat Jam Kesembilan” (“Sembahyang Jam Kesembilan”, “Nona”) atau “Sholatus Sa’atus Tis’ah” (Kis.3:1) sebanding dengan “Sholat Asyar” dalam agama Islam (jam 3-4 sore). Sholat ini dilakukan untuk mengingatkan saat Kristus menghembuskan nafas terakhirNya di atas salib (Mrk.15:34-38), sekaligus untuk mengingatkan bahwa kematian Kristus di atas salib adalah untuk menebus dosa-dosa, agar manusia dapat melihat dan merasakan rahmat Ilahi.

5. “Sholat Senja” (“Sembahyang Senja”, “Hesperinos”, “Vesperus”,“Vespers”) atau “Sholatul Ghurub”. Sholat ini sebanding dengan “Sholat Maghrib” dalam agama Islam (kira-kira jam 6 sore), sama seperti sholat jam pertama, sholat ini dilatar belakangi oleh ibadah korban pagi dan petang yang terdapat dalam Kitab Keluaran 29:38-41. Makna dan tujuan sholat ini adalah untuk memperingati ketika Kristus berada dalam kubur dan bangkit pada esok harinya, seperti halnya matahari tenggelam dalam kegelapan untuk terbit pada esok harinya.

6. “Sholat Purna Bujana” (“Sholat Tidur”, “Apodipnon”, “Completorium”, “Compline”) atau “Sholatul Naum” (Mzm.4:9). Sholat ini sebanding dengan “Sholat Isya” dalam agama Islam (jam 8-12 malam), yang mempunyai makna untuk mengingatkan bahwa pada saat malam seperti inilah Kristus tergeletak dalam kuburan dan tidur yang akan dilakukan itu adalah gambaran dari kematian itu.

7. “Sholat Tengah Malam” (“Sembahyang Ratri Madya”, “Agrypnia”, “Matinus”, “Vigil”) atau“Sholatul Lail” atau “Sholat Satar” (Kis.16:25). Sholat ini sebanding dengan “Sholat Tahajjud” dalam agama Islam. Sholat tengah malam ini mengandung pengertian bahwa Kristus akan datang seperti pencuri di tengah malam (Mat.24:42; Luk.21:26; Why.16:15), hingga demikian hal itu mengingatkan orang percaya untuk tetap selalu berjaga-jaga dalam menghidupi imannya (2 Kor.6:4-5 – “berjaga-jaga” = “agrypniais” ; berasal dari kata “agrypnia” artinya “sembahyang malam tanpa tidur” atau “sembahyang tengah malam dengan meninggalkan saat tidur”).

Dalam Gereja Orthodox, sholat tujuh kali sehari ini dikenal sebagai “Sholat Nabi Daud” berdasarkan Mazmur 119:164, mencontoh kebiasaan Nabi Daud berdoa, lalu dijadikan sebagai pola waktu-waktu sembahyang ummat Kristen Purba. Namun disamping itu Gereja Orthodox juga mengenal sholat tiga kali sehari bagi mereka yang memang tak cukup waktu, yang dikenal sebagai “Sholat Nabi Daniel”, sesuai dengan Kitab Mazmur 55:18 dan Kitab Daniel 6:11.

Sebelum melakukan ibadah sholat tersebut di atas, menurut Tradisi Gereja dan Alkitab, sebagaimana saudara kita kaum Muslim jika mau sholat harus “bersuci” lebih dulu, ummat Kristen Orthodoxpun juga “bersuci” sebelum menunaikan sholat yaitu dengan jalan membasuh telapak tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki, serta seluruh kaki. Ini semua tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sedangkan “kiblat” sewaktu sholat adalah menghadap ke Timur. Karena Ka’bah Baitullah di Yerusalem itu digenapi oleh Kristus sendiri (Yoh.2:9-21), artinya Yesus Kristuslah sekarang Ka’bah atau Baitullah yang hidup itu. Dengan demikian orang Kristen harus berkiblat kepadaNyalah jika bersholat. Padahal dalam realita Yesus itu sesuai dengan surat Filipi 3:20 berada di sorga, jadi kiblatnya bukan arah mata-angin maupun dunia ini, namun untuk menimbulkan lambang kiblat itu di sorga. Kitab Suci menyebut Eden sebagai lambang sorga itu berada di sebelah Timur (Kej.2:8), maka ke arah Timur itulah kiblat sholat dilakukan. Di sisi lain karena Kristus nanti datang dari arah Timur ke Barat (Mat.24:27), dengan menghadap ke Timur saat sholat menunjukkan arti bahwa orang percaya selalu mengharapkan kedatangan Kristus yang kedua kali.

Dari segenap uraian yang terungkap di atas jelaslah sudah bahwa meskipun makna dan tujuan doa sholat adalah untuk menyatukan ummat percaya pada Allah, namun Gereja Orthodox sepanjang sejarahnya tahu menempatkan mana yang doa dan mana yang sholat. Itulah sebabnya bagi ummat Kristen Orthodox jika mendengar istilah “Sholat” bukanlah hal yang baru, karena “Sholat” adalah bagian ibadah yang selalu terjaga dan dilakukan dalam Gereja dari abad-abad permulaan sampai sekarang.

2 komentar:

  1. bolehkah umat katholik Roma, berdoa Puja Yesus dengan Chotki?
    Edy Nurhadianto
    golput4ever@yahoo.com

    BalasHapus
  2. Sebagai umat Roma, untuk apa berdoa Puja Yesus? Bukankah Roma mempunyai tradisi sendiri (doa Rosario)? Tetapi juga tidak ada larangan untuk berdoa puja Yesus.

    BalasHapus

HARAP MENCANTUMKAN NAMA, EMAIL(HP/TLPN RMH). WAJIB DICANTUMKAN